Wednesday, September 17, 2014
Sudah Jatuh Tertimpa Durian dan Diberi Makan Ampas Pula
"Sumpah deh, baru kali ini gue dijadikan budak dan gue rela aja," ujar Sinta sembari duduk di kursi kerjanya sambil menghempaskan berkas-berkas yang tadinya dia pegang.
"Yeeee, dikasih kerjaan tuh harusnya bersyukur. Ingat Sin, apa tujuanmu dari awalnya." balas Juwita, yang duduk di sampingnya.
Sinta menghela nafas panjang
"Iya sih, tapi gue pikir ga seberat ini Wit," ujarnya lagi.
"Terus, elo maunya ongkang-ongkang kaki, ngetik ini itu sedikit, terus selebihnya tinggal kasih ke bos dan elu bisa sambil ngecat kuku gitu?"
"Ya ga juga sih, tapi kan ga gini-gini amat, kayak jadi budak tahu ga sih? Kadang gue jadi berpikir sendiri sebenarnya apa ya yang gue mau? Gue jg ga ngerti nih!"
"Nah itu dia, cari tahu dong. Hidup kan hidup elo sendiri, mau sesuatu yang fun, atau apa ya itu pilihan elu tapi apa elo udah ketemu? Parah ya nih anak"
Sinta terdiam.
***
Melodi mengalun lembut di telinga Sinta. Akhir-akhir ini, dia galau berat. Kata orang sih, kayak jadi mumi hidup gitu deh. Atau mungkin robot ya. Ya, pokoknya itulah kurang lebih keadaan Sinta. Dia sedang menikmati malam hari setelah pulang kerja. Penat, capek, letih, lesu, lemas, apa lagi ya. Ya pokoknya lagi ga berdaya gitu. Hidup segan, mati ga mau.
Masalahnya cuma 1, dia merasa hidup itu sia-sia. Bayangin aja (jangan kelamaan bayanginnya, hehehhe), Sinta baru tahu kalau dia hanyalah anak angkat. Orangtua yang selama ini begitu menyayanginya itu hanyalah orangtua angkat. Ga hanya itu, dia juga mendapati bahwa Boni, pacar keenamnya itu hanyalah pacaran dengannya supaya sang mantan cemburu. Nah, kalau elo pikir nasib Sinta apes banget, masih belum apa-apa tuh.
Karena putus dari sang pacar dan masih bingung bagaimana harus bereaksi menghadapi kenyataan kalau dirinya anak angkat, Sinta kan kerjanya jadi ga karuan. Karena itu, dia dipanggil sama bosnya. "Kerja kok ga profesional? Apa kamu pikir ini kantor milik orangtuamu?" ujar si Bos.
'Orangtuaku? Orangtuaku yang mana ya? Aku malah ga tahu yang asli itu ada dimana,' pikir Sinta dalam hatinya. Karena terkesan cuek, soalnya Sinta lagi mikirin masalah pribadinya itu, dia ditambah lagi 'pelajaran' dari si bos selama 2 jam dan ditambahin tugas-tugas kantor yang menumpuk.
"Kamu harus belajar di sini, biar jadi profesional. Nah, ini ada beberapa berkas yang harus kamu bereskan. Kalau ga ngerti, baru tanya saya. Tapi tolong selesaikan hari ini ya..." ujar si bos pada akhirnya.
"Gue kacau banget deh ini...apa gue harus cari orangtua asli gue ya? Hmmm, tapi nanti takut melukai hati orangtua gue sekarang. Gue harus berenti kerja apa ya? Soalnya gue terima gaji juga minim banget, rok gue aja kalau minimnya. Tapi kerjaannya kalau bos lagi baek sih, ya enak juga sih. Tapi gue sebenernya mau apa ya dalam hidup gue? Nah, belum lagi yang namanya X itu (X yang dimaksud Sinta adalah mantan pacarnya, yang males dia sebutin bahkan namanya). Gue harus cari yang lebih ganteng dari dia. Enak aja dia, dia pikir gue ini pesulap kali, sampai-sampai gue dipacarin biar pacarnya bisa balik.
Aaarrrrrrggggghhhhh, sebel sebel sebeeeeeellllllllll
Kacau nih dunia, mau sampai kapan gue kayak begini? Gue harus ngapain? Hidup gue ini buat apa sih? Apa sih yang gue cari?"
ujar Sinta dalam hati sambil mengacak-acak rambutnya. Maunya dia sih teriak-teriak, cuma takutnya nanti malah dimasukin ke rumah sakit jiwa.
***
Sinta mencoba pergi ke restoran langganannya, yang ga jauh dari tempatnya bekerja.
Kata artikel yang dia baca tadi pagi, kalau lagi galau harus pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan hatinya. Jadi pegilah dia ke sana bermaksud makan mie kangkung kesukaannya.
Sepuluh menit pertama sih berhasil. Dia memusatkan perhatian pada menu, padahal udah pasti milihnya mie kangkung. Abis itu, dia ngobrol-ngobrol sama pemiliknya sekaligus sang koki andalannya. Tapi setelah itu, pikirannya kacau lagi.
"Duh, gue kira-kira gimana ya? Masa mau hidup begini terus? Dulu sih pegi ke sini bareng X. Ih ngapain gue ingat-ingat X mulu. Ingat apa ya? Masa ingat tentang status gue yang ga jelas ini?"
"Mbak...mbak....mbaaaaaaak" ujar si koki.
"Eh iya, sori bu, ini mie kangkung saya ya?" kata Sinta sambil mengambil mangkok di tangan ibu penjual mie. Ibu itu langsung aja menjauhkan mangkuk tersebut sambil berkata,
"Bukan mbak, ini buat mas sono. Tapi saya mau nanyain mbak mau minum apa?"
"Ooooooh, hehehhehehehe....minum teh manis aja bu" ujar Sinta salah tingkah.
Sewaktu mie kangkungnya disodorkan, Sinta harus dipersilahkan dua kali sebelum makan. Abis dia takut salah ambil lagi. Tapi setelah itu, dia makan dengan cepat seolah-olah ada yang memburunya. Dalam waktu 5 menit, mienya langsung abis. Si ibu hanya bisa memelototinya. Sinta tersenyum polos, seolah-olah tak tahu apa yang terjadi.
Sepanjang jalan menuju rumah, karena lewat gang-gang gitu, Sinta kali ini berjalan bagaikan vampir. Kayak loncat-loncat gitu lho, aneh kan yaaa
***
Sinta mencoba pergi ke pantai. Karena katanya pantai juga memberikan ketenangan. Pantai yang terdekat adalah Pantai Ancol, makanya dia menuju ke sana. Tapi kemudian dia menyesal karena sepertinya hanya dia yang pergi sendiri. Yang lain, ada yang pacaran di beberapa tempat, ada yang sekeluarga pergi jalan-jalan dan duduk sambil bersenda gurau. Di sana, Sinta juga melihat satu keluarga yang merayakan ulang tahun sang ayah.
'Dulu aku dan mami papi juga pernah seperti itu. Aku ulang tahun yang ke berapa ya? Kayaknya pas aku lagi remaja, kayaknya bahagia banget. Tiba-tiba aja diajak makan seafood kesukaanku, ditambah lagi dikasih uang saku yang lumayan banyak.' pikir Sinta sambil mengenang.
Dia ingat ketika orangtuanya mencium pipinya. Foto mereka bersama masih tersimpan di kamarnya, di sudut ranjang, di atas meja kecil, tempat yang selalu dia pandangi sambil berkata, "Betapa beruntungnya aku punya keluarga seperti ini"
'Tapi sekarang gimana? Mereka bukan lagi keluarga yang aku kenal dulu....' Sinta pulang dengan keadaan makin galau.
Beberapa hari dia seperti itu, pergi ke perpustakaan yang katanya bisa memberikan ketenangan. Ikut pergi ke gunung, padahal seumur-umur belum pernah pergi. Mencoba hang out dengan teman-teman lama, tapi di antara semua kegiatannya itu, pikiran-pikiran itu selalu terselip.
***
'Hari ini pergi ke mana ya? Bosen juga pegi-pegi, ngabisin duit aja. Juwita juga ga bisa, udah ada kencan sama pacarnya. Mungkin gue di kamar aja deh...' pikir Sinta siang itu di kantor.
Saat itu, pekerjaannya sudah sedikit memberikan kelegaan. Pekerjaannya sebagai konsultan akuntan itu memang menyita waktu. Tapi dia tahu inilah keinginannya sejak dari dulu. Dia suka jika diberi hitung-hitungan, angka-angka yang memusingkan kebanyakan orang, dia juga suka jika disuruh mengatur uang sumbangan saat ikut jadi panitia bantuan dalam keadaan darurat. Semuanya dimulai ketika dia masih kecil.
Sinta jadi ingat masa kecilnya deh, ini nih masa kecilnya.
Waktu itu umur Sinta baru 8 tahun. Karena dia anak tunggal, dia sering bermain sama sepupunya yang tinggal di dekat rumah. Sinta sendiri setiap hari diberi uang jajan. Tapi waktu itu di sekolah ada proyek "Menabung Untuk Memberikan". Tabungan itu rencananya akan digunakan untuk diberikan pada anak-anak yang menderita kanker tapi tak mampu membiayai pengobatannya. Karena ada proyek di sekolah, dia tidak bisa ikut jajan ketika melihat sepupunya beli es krim. Dia hanya bisa mupeng.
Kemudian dia datang kepada ayahnya. "Pi, tambahin uang jajanku dong..."
"Kenapa?"
"Itu si Dwi kok bisa makan es krim sedangkan aku ga bisa?"
"Lho, memangnya uang jajanmu dikemanain?"
"Itu Pi, aku tabungin buat project di sekolah, katanya mau dikasih buat anak-anak yang menderita kanker. Kanker itu apa sih Pi?"
"Kanker itu penyakit yang parah Sin. Kalau kamu mau tahu, sini duduk di sini, papi kasih tahu."
Lalu mulailah sang ayah mengajarkan pada anaknya tentang penyakit tersebut. Setelah penjelasan tersebut, ayahnya kembali bertanya, "Jadi, ada yang mau kamu tanyain?"
"Ada Pi"
"Apa?"
"Jadi, uang jajan Sinta ditambahin kan ya?"
Pertanyaan itu menimbulkan gelak tawa dari ayahnya. Sinta masih ingat bagaimana ayahnya kemudian dengan bijaksana memberikan masukan.
"Sin, uang jajan kamu kan nggak semuanya buat disumbangkan. Guru bilang hanya Rp 1000 kan? Nah, sisanya biasanya kamu apain?"
"Ya itu Pi, aku kadang beliin karet gelang, kadang buat jajan es keliling, kadang sih buat beli jajanan laen Pi. Kan di sekolah tuh banyak Pi jajanannya."
"Nah, kenapa ga coba kamu tabung aja lagi Sinta. Kan Papi kasih kamu Rp 2500 tiap hari. Rp 1000 buat kamu sumbangin, sisanya Rp 1500? Papi kasih usulan mau? Usulan Papi ini bisa bikin kamu kaya, bahkan kamu bisa jajan sepuasnya." Sinta pun mengangguk bersemangat.
"Cobalah untuk menyisihkan uang jajan kamu. Misalnya aja nih ya. Rp 1000 kan sudah buat proyek. Nah, misalnya Rp 1000 buat ditabungin, sisanya baru buat jajan. Kalau misalnya Rp 1000 ini tiap hari dikumpulin, selama sebulan kamu dapat Rp 30 ribu lho. Coba berapa banyak jajanan yang bisa kamu makan dengan Rp 30 ribu itu?"
"Wah, aku bisa makan es krim ribuan kali, kali ya Pi"
"Wkwkwkkwk, ga sampai ribuan sih, tepatnya bisa 60 kali dalam sebulan. Nah, banyak kan? Apalagi kalau kamu tabungin terus, kamu itung-itung nanti, kamu bisa beli sepeda lho"
Sinta yang waktu kecil memang doyan bersepeda, langsung mengangguk bersemangat. "Oke deh Pi, aku dibeliin celengan ya?"
Sinta mengenang kejadian itu dengan masih sangat jelas. Dia jadi kangen sama ayahnya, tapi dia kemudian menyadari bahwa ayahnya bukanlah ayah kandungnya. Namun, ayahnya inilah yang mengajarkan dia arti tentang uang.
Sorenya Sinta pulang ke rumah dengan lunglai. Selain pekerjaannya menguras tenaga, pikirannya pun ikut menguras tenaganya. Dia bermaksud ingin tidur cepat, tanpa makan malam.
"Nak, bolehkah Papi dan Mami ngomong sebentar?"
Sinta melihat ayah ibunya dengan perasaan kangen. Biasanya mereka bagaikan sahabat, curhat dan cerita serta saling mengejek dengan perasaan sayang. Sinta melihat keduanya yang seolah-olah takut ditolak. Sinta melihat kekuatiran dan juga permohonan yang tulus.
Sinta pun mengangguk
Mereka menuju ke ruang keluarga
Setelah duduk beberapa lama, ibunya mulai berkata.
"Nak, maafkan kami karena selama ini merahasiakannya darimu. Kami pikir itu yang terbaik, Nak tapi sesungguhnya tidak. Meskipun berat, harusnya kami katakan padamu.
Waktu itu, Mami sedih karena anak yang Mami kandung meninggal dunia. Nah, waktu itu kamu pun baru dilahirkan ke dunia. Mamamu yang sesungguhnya meninggal dunia karena melahirkan kamu. Papamu ingin bunuh diri, tapi keburu dicegah Papi. Saat itu, untung Papi ada di atas sana sambil merenung kenapa anak kami harus pergi dengan cepat."
Si ibu mencoba tabah, tapi tanpa sadar air matanyapun jatuh. Ayahnya terlihat memberikan tepukan di bahu sang istri. "Ayahmu kemudian pergi mengembara di lautan. Jangan salahkan dia Nak. Bukannya dia tidak sayang padamu, namun hatinya sedang sangat sedih waktu itu. Maklum, dia dan istrinya menikah tua, setelah bertemu lagi.
Mereka adalah teman SMP yang waktu itu saling jatuh cinta. Mereka pernah memperjuangkan cinta mereka namun ditentang. Nah, setelah usia 40an, mereka bertemu dan ternyata sama-sama sendiri. Ibumu ditinggal mati suami sebelumnya tanpa anak dan ayahmu status tak jelas karena ada di lautan. Itulah sebabnya mereka begitu senang ketika kamu ada di kandungan."
"Beberapa kali kami hendak cerai, tapi terus terang Nak hanya kamu yang bikin kami bertahan. Kalau ingat bagaimana kami berjuang dulu, bagaimana kami kehilangan harapan karena setelah itu kandungan ibu harus dikuret, tapi bagaimana Tuhan kasih kamu di dalam hidup kami, itu semua membuat kami bisa baikan lagi Nak."
Sinta pun mengalirkan air mata.
Ayahnya yang jarang menangis itu pun terlihat berkaca-kaca.
"Maafkan kami kalau kamu harus tahu dari ayah kandungmu yang tiba-tiba datang. Bagaimanapun juga dia ayah kandungmu. Dia ingin melihatmu, setelah bepergian mengarungi lautan selama ini. Ucapannya tentu bagai geledek ya nak bagimu, tapi kami pun waktu itu juga kaget. Kami memberikanmu waktu untuk berpikir, kami juga sangsi apakah kami tetap berharga di matamu meski kami tahu kamu sangat berharga bagi kami Nak."
"Aku juga berpikir tentang Mami dan Papi. Gimanapun juga aku sayang sama kalian berdua. Selama ini, kalian yang ngasih aku tahu harus bagaimana, apa yang terbaik buat aku. Katakan Mami, Papi apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku juga ingin bertemu dengan papa kandungku tapi bolehkah aku tetap jadi anak kalian?"
"Tentu Nak, tentu..." hanya itu yang mampu diucapkan....
***
Waktu yang menjawab semua. Waktu juga yang memberikan pemulihan di hati Sinta. Dia tidak hanya punya sepasang orangtua sekarang, tapi ditambah lagi satu ayah. Pekerjaannya pun berjalan dengan lancar, karena memang dia menyukai pekerjaan itu. Bagaimana dengan si X?
Kabarnya si X sudah punya pacar lagi. Sinta tidak peduli apakah karena benar-benar cinta atau sebagai pelampiasan semata. 'Yang penting gue kan sudah memaafkan dia. Lagian, kalau memang ga sreg buat apa dipaksain?' Tapi satu hal yang Sinta tahu. Seringkali kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan itu seolah-olah membuatnya merasa bahwa Tuhan itu tidak adil, jahat. Tapi sebenarnya, ada hikmah di balik semua itu.
Labels:
fiksi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment