Saya memang seorang minoritas di bangsa ini, persis seperti Ahok namun saya wanita. Seorang wanita keturunan Tionghoa (sesuai dengan Kepres jaman SBY, kita mulai pake Tionghoa ya) dan juga seorang Kristen.
Sewaktu saya kecil (kayaknya sih waktu saya mau masuk SD), mama papa memutuskan untuk pindah rumah. Dulu saya dikelilingi oleh orang-orang Tionghoa. Namun sejak pindah, kami hanya satu-satunya keluarga keturunan Tionghoa. Di situlah saya tumbuh besar dengan pemahaman bahwa kami berbeda. Sampai sekarang saya bingung, napa saya dianggap beda.
Awal pindah, sungguh sangat susah. Saya yang masih kecil waktu itu masih ingat ketika rumah kami sering dilempari batu. Saat itu anak-anak kecil yang melakukannya akan berteriak, "Dasar China, China..." Tusukan tajam yang membuat saya bingung, kenapa saya bisa dianggap berbeda.
Kami juga sering kemalingan. Papa yang memelihara ikan, seringkali dicuri karena kolam ikannya berada tepat di sisi tembok. Seringkali orang-orang datang dan saya melihat papa memberi mereka uang. Tidak hanya ikan, seringkali orang datang dan mencuri apa saja yang kelihatan berharga untuk dijual.
Berteman pun tak mudah bagi saya. Sebenarnya, sewaktu kecil, perbedaan etnis itu tak terlalu mencolok. Saya berteman dengan baik sekali kepada beberapa orang. Ada beberapa orang lagi yang punya kelompok geng lain. Hal yang lumrah menurut saya. Namun semakin dewasa, teman-teman mulai menjauhi saya. Saya seringkali mengkhayalkan teman bermain dan bermain sendirian atau hanya bermain dengan adik laki-laki saya, yang puji Tuhan selalu mau menemani saya sekalipun yang dimainkan hanyalah permainan 'anak cewek'. Saya total tidak punya teman di rumah sejak saya kelas 6 SD.
Dari situ, saya mulai anti sosial. Pernah sekali karena tak ingin merepotkan papa yang sibuk, saya pergi ke sekolah sendirian. Untuk menghemat ongkos, saya pikir jalan kaki lebih baik daripada naik becak. Dari gang rumah ke depan hanya makan waktu 15 menit jalan kaki. Tapi di situ, kembali tusukan tajam melukai hati saya. "Eh Cino, ado wong Cino, ado wong Cino.(Eh China, ada orang China, ada orang China)" Hal itu membuat saya lebih jarang keluar rumah.
Saya juga jadi benci pada orang-orang yang datang ke rumah. Mereka kalau nggak ngajakin papa berjudi, maka mereka minta 'jatah'. Thx God-nya, saya tidak melihat ada perlakuan kasar.
Saya tumbuh dengan pemahaman bahwa saya berbeda, bahwa saya tidak bisa diterima orang lain di luar lingkungan saya. Hal itu membentuk saya hanya bergaul dengan orang-orang sesama saya. Jika tidak, akan terasa aneh. Di sekolah, saya punya banyak teman. Tapi di rumah, saya tiap hari hanya bermain sendiri.
****
Bertumbuh dewasa, di kota kelahiran saya, saya melihat bahwa memang perbedaan itu nyata. Apalagi ketika peristiwa Mei 1998 itu terjadi. Saat itu, umur saya baru saja mencapai 16 tahun, saya duduk di bangku 1 SMA. Soeharto dilengserkan. Awalnya, saya melihat kengerian saat Semanggi berubah menjadi medan perang di televisi.
Entah kenapa, pada akhirnya 'perang' itu merembet orang Tionghoa. Awalnya, toko-toko dirusak dan dijarah. Kemudian lama-kelamaan saya banyak mendengar berita tentang para wanita Tionghoa yang mengalami kasus pemerkosaan. Ada yang digilir oleh belasan orang, ada yang kemaluannya dimasukkan benda keras sampai rusak, ada yang disiksa dan diikat tanpa belas kasihan. Kalau Anda bertanya mengapa saya terang-terangan menceritakan hal itu, Anda bisa lihat bahwa saya ingin Anda turut merasakan apa yang saya rasakan. Ketakutan yang luar biasa, ngeri melihat manusia sudah berubah menjadi monster.
Di Palembang saya melihat semua toko Tionghoa dirusak dan tutup, toko yang masih utuh hanyalah toko yang bertuliskan nama "Pribumi". Setelah saya cari di Kamus Besar Bahasa Indonesia, pribumi berarti pribumi /pri·bu·mi/ n penghuni asli; yg berasal dr tempat yg bersangkutan.
Helo, meskipun saya China, saya penghuni asli Palembang. Saya lahir di Palembang. Nenek moyang saya kebanyakan lahir dan besar di Indonesia ini. Kami memang berasal dari tempat ini. Kalau kami bukan pribumi, lantas siapakah kami?
Saya dan mama melarikan diri ke Bangka, tempat kakek dan nenek saya berada. Di Bangka, keadaannya tidak parah. Masyarakat di sana berbaur satu sama lain, tapi mulai tercium gelagat perpecahan. Saya dan mama sempat bingung, akan kemanakah kami jika nanti timbul perpecahan di Bangka? Kami tak punya uang banyak, tidak punya passport, tidak punya tempat persembunyian. Kami dalam keadaan bahaya di tanah kelahiran kami sendiri.
***
Mama juga pernah bercerita, pada tahun 1966 pun pernah terjadi kerusuhan yang serupa. Saya hitung-hitung, umur mama waktu itu baru 11 tahun. Mama bercerita bahwa banyak dari mereka juga tidak selamat. Yang beruntung, adalah mereka yang berhasil dibawa kabur Pemerintah China. Salah satunya adik kakek yang berhasil menyelamatkan diri ke sana. Saat itu, kuota orang yang dapat dibawa ke sana sangat terbatas.
Sebelum kakek nenek dan keluarga mereka bisa ke sana, pemerintah China menghentikan membawa orang Tionghoa keluar Indonesia setelah Indonesia berjanji untuk tidak pecah perang lagi. Cerita ini membuat saya berpikir, bahwa pada akhirnya mungkin mama saya akan menikah dengan orang lain dan bukan papa dan saya tidak akan lahir dan mengalami kejadian menakutkan itu.
Namun, saya salut pada mama. Beliau sudah dua kali mengalami penderitaan yang sedashyat ini, bagaimana Beliau dengan tabahnya mengajak saya untuk melarikan diri ke Bangka. Kejadian yang bahkan kalau sekarang saya ingat, saya suka menangis. Saya menangisi mereka yang tak berdosa tapi ternoda. Saya menangisi bangsa saya yang dari dulu mengajarkan Bhineka Tunggal Ika tapi justru menghancurkan kebhinekaan itu.
***
Setelah kejadian Mei 1998 itu, saya berpikir untuk meninggalkan bangsa ini. Saya harus sekolah, bekerja, dan kemudian pindah ke luar negeri. Seiring pengalaman saya yang mengiringi perjalanan hidup saya, saya menemukan bahwa saya mencintai bangsa ini. Saya mungkin ingin pergi melihat negeri orang, tapi saya ingin mati di tanah kelahiran saya.
Saya ingat bagaimana saya suka ikut Pramuka. Saya ingat pengalaman saya dalam memimpin upacara. Saya ingat betapa bangganya saya memberikan hormat saat bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Di tengah 'kemerosotan akhlak' sebagian orang, saya bangga menjadi warga negara Indonesia, yang saya dapatkan melalui 'ius sanguinis', yang berarti darah orangtua saya pun mengalir Indonesia. Bahkan jika Indonesia menganut sistem kewarganegaraan 'ius soli', saya yang lahir di Palembang pun akan menjadi warga negara Indonesia. Jadi, ini takdir saya menjadi bagian dari bangsa ini.
Saya sedih saat kekayaan bangsa ini dikeruk oleh negara asing. Saya kehilangan kata-kata saat melihat kelompok minoritas di bangsa ini ditindas. Padahal di dalam lambang negara kita, Garuda Pancasila mengalir deras. Kita boleh beda agama, kita boleh berbeda suku, ras, bahasa, budaya, latar belakang, namun kita harusnya SATU. Saya lebih sedih lagi seorang yang mengaku mayoritas tapi mengeruk harta dari kedudukannya, atau yang membuat keputusan yang berakibat ribuan orang tersiksa ; dibunuh dan diculik. Ada pula yang main hakim sendiri dan mengisyaratkan agamanya yang paling benar.
Sebenarnya, apakah itu minoritas ataupun mayoritas? Apakah kita terlalu peduli dia itu China atau bukan? Apakah dia lahir di Jawa ataupun Bali, dia orang Kalimantan ataupun Sulawesi? Kulitnya coklat, kuning langsat ataupun merah. Apakah itu semua penting? Lebih penting dari kekayaan negara kita? Apakah agama lebih penting daripada Tuhan? Negara kita negara kaya. Selain alamnya, negara ini kaya budaya. Jadi jangan ditukar semua itu dengan pertentangan hal-hal yang kita tahu bahwa kita semua banyak perbedaannya.
Saya memang seorang minoritas di bangsa ini, tapi saya bangga sebagai bagian dari bangsa ini. Saya yakin bahwa suatu hari nanti saya melihat bangsa ini diubahkan Tuhan menjadi bangsa yang penuh berkat. Tidak apa-apa jika saat ini masih banyak warga yang hanya melihat ketenaran sehingga bisa mendudukkan pejabat yang notabene heboh dengan pernikahan sirinya ke kursi DPR. Tidak apa-apa jika ada tersangka yang diduga sebagai pelaku kejahatan Mei 98 tapi dapat mencalonkan diri sebagai presiden. Tidak apa-apa jika koruptor dapat kembali mencalonkan dirinya untuk duduk di pemerintahan. Tidak apa-apa jika kita pernah memilih yang salah. Tapi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cerdas. Toh kebenaran seseorang akan bersinar, bagaimanapun dia ditutupi.
Akhir kata, kiranya kasih Allah yang melampaui segala pikiran memberikan kepada kita hikmat dan kebenaran dalam menjalani kehidupan sebagai seorang pribadi, seorang warga, seorang anggota keluarga, sebagai apa kita di dalam bangsa ini dengan bijaksana.
No comments:
Post a Comment