Setiap manusia punya persoalan hidup. Saat mengalaminya, semua orang merasa bahwa masalahnya begitu berat. Tapi setelah kita melewati masalah itu, sering ga kita merasa begini, "Wah ternyata masalahnya ga begitu berat." atau "Kayaknya masalahnya jadi sekecil kelingking doang ya"
Dulu waktu aku masih kecil, aku sudah bercita-cita untuk punya satu pacar dan kemudian menikah. Makanya, ketika aku pacaran pertama kali, aku menghabiskan waktu 7 tahun untuk menyadari bahwa aku tidak bisa menikah hanya dengan pacaran satu kali.
Aku pun perlu bertahun-tahun sampai akhirnya aku berhasil membuka diri kembali, sayangnya lagi-lagi dengan orang yang salah.Hal itu masih berlangsung sampai sekarang. Sepertinya, aku masih saja mencari orang yang salah untuk dijadikan pendamping hidup.
Awalnya, aku berpikir dia adalah yang terakhir di dalam hidupku. Kami bertemu di sebuah situs jodoh. Meskipun jarak jauh, aku bisa tenang menjalani hubungan ini. Kami bertemu sebulan dua kali, kadang aku yang ke tempatnya, kadang dia yang datang ke tempatku. Aku suka traveling, jadi rasanya menyenangkan mengenal dunia baru. Sampai akhirnya, aku tahu bahwa dia masih menghubungi mantannya. Saat itu, aku masih berharap dia berubah, namun ternyata aku yang berubah. Aku tak bisa percaya lagi padanya, kami sering bertengkar dan kami pun putus sambung beberapa kali. Sampai akhirnya, aku menyadari bahwa diapun bukan yang aku cari.
Lalu datang lagi seseorang dalam hidupku. Meskipun sudah setahun lebih aku putus dari yang sebelumnya, aku belum siap menghadapi hubungan yang baru. Namun kegigihannya, membuat aku bertanya-tanya, "Apakah dia Tuhan?" Jika dulu-dulu aku tidak berdoa saat hendak berpacaran, kali ini aku berdoa puasa selama sebulan. Namun, sebenarnya tanda-tandanya cukup jelas dan harusnya aku sudah dapat melihat dengan jelas. Sebelum sebulan doa puasa itu selesai, aku menemukan bahwa dia pun masih menghubungi mantannya.
"Apa yang kutakutkan, itulah yang terjadi padaku" Itulah yang Ayub katakan saat dia dicobai. Aku berpikir bahwa aku tak mau lagi punya pacar yang ga sungguh-sungguh, yang masih menoleh ke belakang, tapi ternyata itulah yang kudapatkan.
Sepertinya aku belum dewasa dalam menentukan sebuah keputusan. Aku juga punya harapan yang tinggi bahwa kali ini akan jadi yang terakhir. Aku berharap inilah yang terakhir. Kami punya banyak perbedaan, meski kami juga punya banyak kesamaan. Ketika kami sedang baik-baik saja, maka kami seperti seorang sahabat. Melakukan hal-hal konyol dan menyenangkan hati. Namun ketika perbedaan itu muncul, kami seperti musuh bebuyutan.
Lama-kelamaan, kami saling egois dan beberapa kali pula kami putus sambung. Namun sepertinya keadaan tidak membaik. Makin lama makin runcing. Masalah kecil jadi besar. Sampai suatu hari, kami juga bertengkar hebat.
Sama seperti mantanku yang lainnya, akupun diajak bertemu dengan kedua orangtuanya. Bedanya dengan yang lain adalah ketika kami pulang dari sana, kami pun bertengkar hebat dan saat itulah dia memutuskanku. Ironis bukan? Diputuskan hanya setelah diajak bertemu camer. Aku kecewa berat. Sebelum bertemu camer, mungkin hubungan kami belum serius. Jadi wajar saat emosi memuncak, kami mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan dan kemudian kami putus sambung. Aku pikir saat hubungan ini sudah semakin serius, maka kata-kata itu jadi tabu. Kecuali jika benar-benar ingin berpisah, namun nyatanya tidak begitu.
Ironisnya lagi, setelah aku diputusin, dia malah memberikanku cincin pertunangan. Aku jadi bingung, baru kali ini aku benar-benar bingung, hubungan macam apa yang sedang aku jalani. Kalau aku itung-itung, sejak dia mengajakku bertemu camer, empat kali aku diputusin. Empat kali pula aku diajak baikan lagi. Yang keempat ini sebenarnya kami tidak bisa dibilang putus karena sejak yang ketiga, kami ga pacaran lagi meskipun tetap dekat.
Empat kali diputusin itu seperti menderaku. Apakah aku begitu tidak berharganya sampai harus terus menerus diputusin dan diajak balikan lagi, seperti dianggap enteng. Apakah sifatku begitu jeleknya sampai pantas diperlakukan seperti itu. Belum lagi, ternyata dia juga mulai langsung 'bergerak'. Saat pacaranpun tidak ada status ataupun foto tentang kebersamaan kami. Apakah itu yang pantas aku dapatkan, untuk apapun kekurangan yang ada padaku.
Aku tidak mau mengalami siklus yang sama terus-menerus, sampai kapan aku harus mengalami hal itu. Makanya aku mau melangkah. Tuhan pasti mau mengajarkan sesuatu padaku meski saat ini yang kurasakan hanyalah rasa sakit. Aku mau seperti Daniel, yang berdoa untuk mengucap syukur dan pujian pada-Nya. Aku percaya, pujian dan ucapan syukur jauh lebih menguntungkan daripada bersedih tak ada ujungnya. Sebenarnya, bukanlah waktu yang akan benar-benar menyembuhkan kita, tapi hanyalah lewat belajar dan bersandar. Kita punya Tuhan yang hebat. Makanya aku juga perlu belajar untuk lebih baik lagi, menjadi orang yang terbaik dari diriku. Tapi aku juga perlu belajar untuk lebih bersandar pada Allah. Menggantungkan harapanku di tempat yang tepat.
No comments:
Post a Comment