Wednesday, March 14, 2018

Namaku Hardy, Rasa Anak Angkat yang Pernah Ada



Namaku Hardy, sebelum aku menceritakan kisahku, sejujurnya aku ingin melupakan apa yang telah terjadi. Sayangnya, aku ini tipe manusia yang mempunyai long term memory. Aku masih ingat bagaimana aku belajar berjalan, aku masih ingat bagaimana aku jatuh dari tangga 25 tahun yang lalu, aku masih mengingatnya seolah kejadian itu baru kemarin. Sayangnya aku juga masih ingat kejadian yang ingin aku lupakan di dalam hidupku ini.

Aku lahir dari keluarga yang tidak berada. Sebelum aku lahir, kesembilan saudaraku sudah hadir ke bumi duluan. Dengan adanya aku, keluarga kami makin banyak anggotanya. Tentunya makin banyak biaya yang dikeluarkan, karena menambah satu mulut lagi untuk disuap. Mungkin inilah sebabnya mengapa aku hanya bersama keluarga kandungku selama 4 bulan.

Selebihnya, keluarga baru datang secara resmi untuk mengadopsiku. Aku kemudian mulai mengenal wanita lain sebagai ibuku, dan suaminya sebagai ayahku. Sejak aku mulai bisa berbicara, merekalah yang pertama kali aku panggil sebagai ayah dan ibu.

Ibuku baru menikah dengan ayah saat usianya sudah mencapai 40 tahun, hal inilah yang mungkin menyebabkan mereka susah punya anak. Atau mungkin karena ayahku mandul, entahlah aku tidak tahu banyak tentang hal itu. Gosip tetangga yang mungkin menyakitkan telinga, atau omongan orang yang kurang sedap didengar, mungkin itulah aku berada di sini bersama keluarga baruku.

Mengenai keluarga kandungku sendiri, aku tidak pernah bertemu dengan mereka lagi sejak saat itu, bahkan setelah aku tahu aku anak angkat ataupun ketika aku sudah dewasa seperti sekarang ini. Di dalam pemikiranku, di satu sisi aku pikir mereka pasti merasa bersalah karena telah memberikanku kepada orang lain. Di sisi lain, aku tidak mau menyakiti wanita yang sekarang aku panggil ibu.

Aku juga tidak ingin tahu mengapa mereka menyerahkan aku kepada orang lain. Kurasa mereka tidak punya pilihan lain dengan kondisi yang seperti itu. Bagi aku, hal ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Aku tidak banyak tahu juga tentang bagaimana aku diadopsi, ayah jarang bicara soal hal itu. Mungkin penyebabnya karena dia sendiripun anak angkat.

Dengan menjadi anak angkat, bukan berarti hidupku sepenuhnya bahagia. Tapi kalau aku disuruh memilih, menurutku situasinya akan sama saja. Belum tentu juga kalau aku tinggal bersama keluarga kandungku aku akan bahagia. Meski tinggal di rumah kontrakan, aku dengan keluarga angkatku ini, suasana di rumah kami pernah penuh dengan canda tawa. Rasa itu begitu sederhana tapi aku bahagia.

Namun, ada saat-saat kelam yang membuat rasa itu kemudian punah. Ayahku seorang KDRT. Ibuku selalu jadi sasarannya. Lama-kelamaan perbuatan KDRT ayah semakin parah. Suatu hari, dia mengancam ibu akan membunuhnya. Hal itulah yang kemudian membuat ibu lari dari rumah. Sejak ibu lari dari rumah, akulah yang menjadi sasarannya. Yang menyakitkan adalah ketika ayah lagi stress, dia suka bilang, "Lu bukan anak gua..." Hal itu masih membekas di hati. Aku tinggal bersama ayah selama dua tahun sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pindah ke panti jompo.

Sejak ayah pindah ke panti jompo, aku kembali tinggal bersama ibuku. Dia tinggal di rumah adik bungsunya. Aku pindah dengan membawa "monster" yang diciptakan ayah di dalam diriku. Karena kemudian, aku pun menjadi monster seperti ayahku, meski aku tidak melakukan kekerasan fisik tapi kata-kataku dan nada suaraku penuh dengan teriakan kepada ibu yang seharusnya aku kasihi. Aku seringkali harus mengontrol monster itu, tapi terkadang monster itu keluar tak terbendung.

Kalau ibu lagi over protective, seringkali dia memaksa saya harus menuruti perkataannya. Sedangkan aku, aku tentu punya cara pandang sendiri. Ditambah lagi, ada latar belakang suara adiknya yang bikin suasana bertambah keruh.

Adiknya suka ngomong, "Orang tua tidak bisa mengajar anak."

Yang lebih membuat aku kesal adalah ibu lebih mendengarkan adiknya dibandingkan aku. Ibu sendiri, dari sejak kecil selalu di rumah menjaga nenek, sehingga pergaulan pun kurang, sementara adik-adiknya bebas. Mungkin itulah yang menyebabkan ibu percaya semua perkataan adiknya, terutama tentang diriku. 

Sementara aku, merasa muak dengan mereka. Kalau di hadapan ibu, aku dianggap sebagai keponakan Tapi saat ibu tidak ada di TKP, siapalah aku ini. 
"Lu itu dianggep keluarga, makanya nurut." begitu kata mereka jika ibu ada.
"Lu numpang di sini karena kami mandang mama lu," begitu kata mereka ketika ibu tidak ada.

Berulang kali, perkataan-perkataan mereka menusuk ke hati. Berulang kali pula, mereka mengatakan hal berbeda jika ada ibu. Selama tiga tahun tinggal bersama adik bungsu ibu, aku selalu dianggap sebagai orang luar. 

Tahun 2013, suami adik ibu mengusirku. Saat itu, ibu ada di tempat kejadian, tapi ibu punya kuasa apa. Ibu toh juga menumpang. Gara-garanya? Aku telat membersihkan halaman rumah. Aku juga lupa perintah mereka untuk memasukkan kura-kura kembali ke dalam air. Kata mereka, kura-kura bisa mati kalau tanpa air. Hmmm....Jadi, kura-kura aja jauh lebih penting dibandingkan aku yang kata mereka dianggap anggota keluarga. Ternyata perlakuan mereka kepadaku seperti aku ini jongos.

Akhirnya aku ngekos selama kurang dari dua tahun. Memang waktu itu, kost ku dibayarin adik mama karena merasa bersalah akibat kelakuan suaminya. Sampai akhirnya, adik ibuku yang satu lagi tahu kalau aku diusir oleh adik iparnya. Awalnya, dia ngajakin aku dan mamaku pindah ke rumahnya. Awalnya, aku pikir dia bakalan berbeda.

Aku hanya bertahan selama enam bulan di rumahnya. Aku akui istrinya memang baik. Tapi pamanku dan anak-anaknya ya bajingan. Kesalahan kecil dicari dan diungkit. Tiap hari dia ribut. Mereka buat aturan yang bikin aku terikat. Memang, dia juga yang merekomendasikan aku untuk bekerja, tapi gaji Rp 1,5 juta cukup untuk apa? Kekecilan gaji tiap hari diteror untuk pindah. Pernah juga, dia bilang niat untuk membantu aku usaha ojek online. Pas sudah daftar, eh dia berubah pikiran. Aku pun udah jadi males mau ngomong lagi. Aku sempat satu bulan ga ngomongan sama pamanku ini.

Suatu hari, enam bulan setelah tinggal di rumahnya, aku ditawari kerja sama temanku di Cikarang. Saat aku mau pamitan untuk pindah, aku malah diusir. "Kalau memang ga sejalan, ya kamu memang harus keluar dari sini biar ga konflik," itu kata mereka. Sejak saat itu, aku ga tinggal lagi dengan 'keluargaku'. Aku setahun di Cikarang, dan sekarang aku hidup di Bali. Lebih baik begini. Aku ga mau dianggap beban sehingga terpaksa nampung aku. Aku menjaga diri sendiri agar tidak menyakiti mereka, sekalipun aku sudah disakiti.

Saat tahun baru Imlek, aku pernah pulang ke Jakarta. Teman-temanku meyakinkanku bahwa ini demi ibuku. Akhirnya, aku harus ketemu mereka kembali. Adik ibuku sempat memintaku untuk menginap sehari di rumahnya, begitu pula dengan ibuku. Namun, aku ingat kata-kata mereka. Daripada konflik, mendingan aku pergi. Mama maksa aku untuk baikan dengan mereka, tapi bagi aku memaafkan ga harus akrab. Cukup ambil jalan masing-masing. 

Sekarang ini, aku masih terluka tapi aku sudah memaafkan mereka. Luka butuh waktu untuk sembuh, lagian lukaku ini baru dua tahun. Seringkali tetap perlakuan mereka terbawa dalam malam-malam yang kelam. Aku memaafkan perlakuan mereka. Kalau mereka tak ingin punya hubungan dengan aku juga ga masalah. Saat mama sudah tiada, saat itulah hubunganku dengan mereka pun berakhir. Kadang aku pengen sekali bisa amnesia, apalagi ingatanku ini masih begitu jelas seperti kejadian kemarin. Hanya saja aku punya long term memory, jadinya suasananya masih begitu hidup di ingatanku. Inilah kisah kehidupanku, namaku Hardy.

Sumber : Hardy Chen

Kalian bisa tuker pikiran dengan narasumber mengenai kisah hidupnya di :
https://www.facebook.com/hussainshelomo.sudarshan